Resensi Film Batas
Film BATAS
berdasarkan naskah yang ditulis oleh aktor senior Slamet Rahardjo Soejaro.
film ini harus
diacungi jempol karena telah mengangkat kondisi masyarakat dan pendidikan anak
negeri di wilayah perbatasan.
Adalah
Jaleswari (diperankan oleh Marcella Zalianty) sebagai pemeran utama dalam film
itu. Sosok perempuan yang putus asa ditinggal mati suaminya lalu mendapatkan
tugas di perbatasan Indonesia dari perusahaannya. Keberangkatan yang didasari
keputusasaan justru melahirkan optimisme baru.
Jaleswari
mendapatkan tugas untuk menyukseskan program corporate social
responsibility (CSR) di bidang pendidikan di Provinisi Kalimantan
Barat, Kabupaten Pontianak, di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
Kondisinya, guru-guru yang dikontrak untuk mengajar di sana tak bertahan lama.
Hanya ada Adeus yang bertahan, itupun karena dia adalah pemuda asli daerah itu.
Adeus berhenti
mengajar karena ada Otik yang menginginkan warga di desa itu tetap bodoh.
Kebodohan warga dimanfaatkan supaya mereka terus memimpikan “surga” yang ada di
negeri sebelah. Jaleswari yang akhirnya mengembalikan semangat Adeus agar
kembali siap mengajar anak-anak di desa itu.
Tidak mudah membangkitkan
semangat Adeus untuk kembali mengajar. Apalagi Adeus mendapat ancaman dari Otik
yang kerap mengirimkan perempuan warga setempat ke negeri sebelah. Jaleswari
juga diancam, bahkan diteror. Tapi, semangat belajar Borneo, bocah
setempat yang punya semangat belajar membuat Jaleswari bangkit melawan teror
itu.
Semangat
Jaleswari juga membangkitkan semangat Panglima Galiong Bengker (kepala suku
Dayak dalam film itu) untuk membuat warganya berpendidikan. Dia yang
”membentak” Adeus agar tak kalah semangat dengan Jaleswari untuk mendidik
anak-anak di desa itu. Dia jadi harapan besar karena merupakan pemuda asli desa
itu.
Dari cerita
film itu ada beberapa pembelajaran dan renungan untuk kita. Bahwa pada
dasarnya, tidak ada orang yang ingin bodoh. Namun, untuk memberikan pendidikan
tidak semudah membalikkan telapak tangan karema itu semua juga butuh proses.
Terutama di
wilayah pelosok, banyak masyarakat yang terkesan membiarkan anaknya tumbuh
tanpa pendidikan. Itu karena pendidikan seringkali berhadapan dengan kenyataan
bahwa di pedalaman kemauan bekerja lebih di utamakan daripada kemauan untuk
belajar. Warga di pedalaman itu, seorang anak akan lebih dihargai jika pintar
mencangkul, membajak sawah, mengasah benda tajam untuk berburu dan berkebun dan
sebagainya. Anak pintar matematika seakan tak bisa diandalkan di tempat itu.
Padahal, hampir
semua anak punya impian sendiri tentang pendidikan dan sekolah. Itu bisa saya
rasakan sendiri saat ,enontonya. Meski di pegunungan, berjalan kaki
berkilo-kilo meter (km) menuju sekolah, dan tidak mengantongi uang saku, banyak
anak yang semangat belajarnya. Anak-anak itu tetap berjuang mendapatkan
pendidikan di tengah kenyataan keterbatasan pola pikir dan ekonomi orangtuanya.
Nilai yang
terpenting dari berbagai keter-BATAS-an yang berkaitan dengan pendidikan adalah
”tidak ada seorang anak pun yang ingin bodoh”.
Reportase
Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Toleransi Nasional
Kegiatan ini dilaksanakan di gedung Auditorium
FKIP Usyiah Darussalam, Banda Aceh pada Senin, 25 November 2013 pukul
13.30 WIB, Kegiatan ini akan melibatkan perwakilan masyarakat, pemerintah,
pelajar SMA, dan mahasiswa (i). Kegiatan tersebut bertujuan untuk
menyampaikan pesan antikekerasan dan perdamaian serta toleransi kepada seluruh
masyarakat, melalui medium seni dan audiovisual. Kegiatan ini sekaligus juga
untuk memperingati Hari Toleransi Internasional yang diperingati setiap tanggal
16 November.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Aceh Women’s
for Peace Foundation (AWPF), Museum HAM Aceh, dan Gemasastrin Unsyiah, yang dibuka dengan nyanyian “Aceh Loen Sayang”
oleh mahsiswa Unmuha. Kemudian selanjutnya ada teater persembahan dari
mahasiswa (i) Unsyiah yang menceritakan tentang konflik di Aceh pada waktu lalu.
.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan perbuatan yang
berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, psikis, seksual,
ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan dan perampasan kebebasan, baik yang
terjadi di lingkungan masyarakat dan rumah tangga.
“Dengan banyaknya kasus kekerasan terhadap
perempuan, sudah sepatutnya kita sebagai warga negara melakukan upaya-upaya
pencegahan dengan cara mengampanyekan gerakan antikekerasan terhadap perempuan”
Ujar Irma sari Direktur AWPF.
Lebih lanjut kata Irma, Upaya–upaya penghapusan
kekerasan terhadap perempuan juga dilakukan di berbagai tempat baik di daerah,
nasional dan di internasional, salah satunya melalui kampanye 16 hari anti
kekerasan terhadap perempuan atau 16 Days of Activism Against Gender Violence yang
dirayakan pada tanggal 25 November 2013–10 Desember 2013.
“Kampanye ini merupakan kampanye
Internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap
perempuan di seluruh dunia” tambahnya.
Penghapusan kekerasan terhadap perempuan
katanya, membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari berbagai komponen
masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik aktivis HAM perempuan,
Pemerintah, maupun masyarakat secara umum sehingga akhirnya terpenuhinya
hak-hak warga negara dalam bingkai perdamaian Aceh.
Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) adalah
sebuah lembaga yang peduli untuk isu penegakan hak asasi perempuan dalam konteks perdamaian akan
melakukan upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dengan cara melakukan
pementasan seni, diskusi, dan nonton film antikekerasan. Film yang di putar
pada Acara tersebut adalah film “BATAS” juga merupakan penutupan dari acara
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar